Pada awalnya saya tidak berniat untuk menulis opini-opini yang kemudian mempengaruhi pilihan orang-orang dalam menentukan pilihan antara kedua capres. Karena saya merasa sudah cukup “perang” ini dijalankan oleh banyak orang lainnya, tetapi saat saya membaca tulisan Pak Anies Baswedan yang saya kutip di sini, “…kita selalu mengatakan, jangan hanya urun angan, jangan diam dan mendiamkan; kita harus siap untuk terlibat dan membantu.”
Membaca kalimat tersebut, saya terdorong untuk menulis ini. Bagi saya yang merupakan warga negara biasa, tulisan ini adalah bentuk terkecil TurunTangan yang bisa saya lakukan demi bangsa ini. Entah seberapa banyak yang akan membaca, entah seberapa berdampak, biarkan itu menjadi urusan lain, yang terpenting saya berpartisipasi.
Tanpa mengurangi hormat saya kepada kubu Bapak Probowo dengan segenap tim koalisinya, saya menentukan pilihan saya kepada Jokowi-JK. Saya memilih pasangan Jokowi-JK dengan penuh kesadaran bahwa kedua pasangan tersebut jauh dari sempurna. Saya yakin Pak Jokowi penuh dengan kekurangan, demikian dengan Pak JK. Saya memilih beliau memberikan saya harapan sebagai warga Jakarta dan saya yakin harapan tersebut bisa dititipkan untuk Negara Indonesia ke depannya. Dan sayangnya di saat yang bersamaan, saya tidak melihat beberapa kualitas tersebut dalam diri Pak Prabowo.
Dalam menuliskan alasan saya kali ini, saya tidak akan menuliskan soal isu penculikan dan HAM.
Mengapa?
Hal itu di satu sisi memang isu yang sangat krusial bagi capres, tetapi orang yang menuliskan mengenai isu tersebut sudah terlalu banyak. Saking banyaknya isu ini menjadi buram dalam masyarakat. Siapa yang benar dan bohong sulit dibedakan. Pendukung yang 1 mengganggap itu benar, pendukung lainnya itu fitnah, lalu terjadilah debat yang tidak pernah selesai. Berdasarkan pertimbangan itu, maka saya tidak akan berbicara soal isu tersebut.
1. Politik Transaksional
Praktik politik transaksional bagi-bagi jatah menteri dari partai-partai koalisi pemegang pemerintahan sudah dijalankan sejak dulu. Ini bukan rahasia yang sepertinya bisa dibantah. Munculnya wacana mengenai politik transaksional pada Pilpres kali ini sudah merupakan bukti tersendiri.
Dan sejak dulu, saya merasa pemerintahan kita tidak pernah efektif karena selalu menempatkan menteri yang seorang politikus pada bidang yang bukan keahliannya. Saya masih akan memahami apabila ada tim sukses / kader partai koalisi yang menjadi menteri, ketika rekam jejak & latar belakang pendidikan orang tersebut memang terhitung sebagai profesional pada bidangnya. Lalu kalau kita perhatikan ada pola, di mana kementerian yang terkena kasus korupsi biasanya memiliki menteri yang berasal dari parpol koalisi pengusung, bukan dari menteri yang berlatar belakang profesional.
Dan pada kesempatan pilpres ini, saya melihat indikasi kuat kalau kubu Bapak Prabowo sedang membangun rencana pemerintahannya berdasarkan politik transaksionalnya. Saya bilang indikasi kuat, karena memang belum terbukti dan memang belum terpilih. Tetapi dari surat kabar, dari portal berita di internet dan media elektronik lainnya, indikasi tersebut sangat kuat. Dan saya tidak ingin sebuah kesalahan yang sama terus menerus berulang kembali pada pemerintahan mendatang. Sudahlah cukup. Negara dan rakyat bukan tempat untuk saling rebut kekuasaan. Menurut saya letakkanlah seorang profesional pada posisi menteri, sehingga kementerian tersebut dapat berjalan bebas dari kepentingan partai dan lebih efektif.
Tapi di sini lain, saya juga ingin melihat perkataan kubu Pak Jokowi untuk membangun tidak bagi kursi menteri. Kalau ternyata itu janji palsu, saya rasa ini akan menjadi kekecewaan besar bagi rakyat.
2. Konsisten Memberantas Korupsi
Kedua capres menuangkan pernyataan anti korupsi pada visi masing-masing. Tetapi sekali lagi, presiden terdahulu juga seperti itu. Semua partai juga berbicara seperti itu. Tetapi kenyataannya? Banyak kader (bahkan beberapa ketua umum) partai yang berteriak-teriak bersumpah depan rakyat untuk memberantas korupsi, malah korupsi. Ini ironi tingkat paling tinggi. Ini kemunafikan!
Lalu kita juga melihat dengan mata kepala kita sendiri, bahwa banyak partai yang berusaha mati-matian melindungi diri partainya dengan berbagai argumentasi tidak masuk akal di setiap kasusnya. Seringkali juga para kader mereka yang terjelit kasus korupsi bahkan dikorbankan dengan disebut oknum, demi menyelamatkan partai. Dan kita semua pasti cukup tahu partai-partai mana saja yang bermasalah kasus korupsi di tahun belakangan ini. Dan kita semua tahu partai-partai tersebut sebagian besar ada di koalisi mana.
Sulit bagi saya untuk bisa percaya perkataan pemimpin yang berjanji membersihkan daerahnya dari kejahatan pencurian, ketika lingkungan sosial yang mendukung pemimpin tersebut adalah para penadah pencurian itu.
Sulit bagi saya untuk bisa percaya memilih seorang pemimpin yang berjanji untuk menjaga kebersihan, tetapi semua orang tahu kalau teman-teman pemimpin tersebut adalah orang yang selalu buang sampah sembarangan.
Sulit bagi saya untuk bisa merasa aman mempercayai bahwa janji Pak Prabowo bahwa negara akan bebas korupsi, ketika partai koalisinya banyak yang bermasalah dengan korupsi.
Mungkin ketika Bapak Prabowo saat ini secara tegas langsung mengeluarkan Pak SDA dari koalisi karena menjadi tersangka korupsi, maka kepercayaan saya akan mulai tumbuh sedikit. Saya akan percaya bahwa memang Pak Prabowo itu tegas. Tetapi kalau ketegasan hanya diberlakukan untuk pihak-pihak yang berseberangan saja, maka sepertinya itu bukan sebuah ketegasan.
3. Prestasi dalam Memimpin
Bapak Prabowo tidak pernah sekalipun memiliki sebuah pengalaman menjadi pemimpin publik sipil. Ya, di militer, Pak Probowo adalah pimpinan. Dan ya, Pak Prabowo merupakan seorang pimpinan dalam perusahaannya. Tetapi menjadi presiden itu tidak sama dengan memimpin tentara ataupun memimpin sebuah perusahaan.
Apakah memimpin negara tidak perlu ada rekam jejak yang jelas tentang pengalaman kepimpinannya? Apakah memimpin negara cuma yang penting ada ide atau visi ke depan saja?
Coba bawa kasus yang sama ke perusahaan. Apakah perusahaan akan mau menerima seseorang yang datang melamar ke sana untuk menjadi Presiden Direktur, tapi tidak pernah punya CV yang memadai dalam kepemimpinan. Jadi manager saja belum pernah. Kalau perusahaan saja tidak akan menerima, masa memimpin suatu negara dipersilakan?
Saya rasa kalau mau diberikan kesempatan mencoba, jadi Pak RT/RW/Lurah masih bolehlah. Mau coba-coba jadi langsung menteri, masih ditolerir menurut saya. Tetapi menjadi presiden, rekam jejak harus jelas menurut saya.
Mungkin sekali banyak yang berargumen, “ah banyak juga presiden kita yang tidak pernah jadi pemimpin publik sebelumnya.“
Dan saya menjawab, kita harus melihat konteks dalam pilpres kali ini. Presiden terdahulu lawan capresnya mungkin juga sama minim pengalamannya. Tetapi saat ini lawannya memiliki rekam jejak yang jelas lebih berpengalaman, bahkan beprestasi. Jadi ketika berbicara konteks pilpres saat ini, maka menjadi masuk akal ketika saya merasa ini adalah alasan terbesar dan paling tepat bagi saya pribadi untuk tidak memilih Pak Prabowo.
Mungkin banyak orang yang berkata kalau Pak Jokowi belum melakukan apapun sebagai Gubernur DKI Jakarta. Namun bagi saya pribadi, saya melihat nyata pekerjaan Pak Jokowi. Saya sudah 29 tahun tinggal di Jakarta, belum pernah melihat sebelumnya sungai-sungai dikeruk secara massal demi menghadapi musim hujan. Saya juga selalu melewati daerah Tanah Abang, dan ya memang masih macet, tetapi tidak seperti dulu yang sudah seperti berhenti di tempat. Belum lagi waduk Pluit, dan masih banyak lagi. Bahkan pencapaian ini lebih terlihat oleh saya dibanding 5 tahun kerja dari Gubernur terdahulu.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Post a Comment